BP, Jakarta — Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Para mahasiswa melampiaskan kegembiraannya. Setelah sebelumnya melihat bersama-sama siaran langsung dari TV yang terdapat di dalam lingkungan MPR/DPR RI.
Saat itu, salah satu dari enam agenda reformasi yang diusung mahasiswa adalah penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut merupakan wujud kekecewaan rakyat terhadap praktik penyelenggaraan negara yang pada sebelumnya dihiasi berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan.
Maka sebagai salah satu perwujudannya, maka dibentuklah Komisi Yudisial, yang merupakan respon dari tuntutan reformasi yang bergulir pada tahun 1998.
Dimulai pada tanggal 9 November 2001, saat sidang tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat RI mengesahkan amendemen ketiga UUD 1945. Dalam sidang itulah Komisi Yudisial resmi menjadi salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam konstitusi atau dasar negara yang dijelaskan dalam Pasal 24B UUD 1945.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka Komisi Yudisial yang merupakan lembaga negara bersifat mandiri, berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung serta mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
“Di seluruh dunia, fungsi hakim hanya fokus pada penanganan perkara saja,” ujar Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta saat menerima audiensi dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Jakarta, Rabu (10/05/2017) di Ruang Pers KY, Jakarta.
Sukma menjelaskan, sistem satu atap (one roof system) yang diterapkan di Indonesia oleh Mahkamah Agung (MA) kurang tepat. Bahkan, lanjut Sukma, KY belum menemukan negara lain yang menerapkan sistem seperti itu.
“Kita lihat di negara lain yang sistem hukumnya sama, sistem dua atap bukan sesuatu yang haram. MA hanya menangani perkara, sisanya dikerjakan oleh lembaga lain,” jelas Sukma.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga menegaskan bahwa ada anggapan yang keliru bila KY ingin mengambil peran dan fungsi Sekretaris di MA (Sesma), terutama dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUUJH).
“Padahal sebenarnya KY hanya fokus pada manajemen SDM, yang terkait hakim. Sisanya terkait administrasi, keuangan, dan SDM di luar hakim tetap dijalankan oleh Sesma. Jadi tidak benar terkait RUU JH dan shared responsibility bahwa KY ingin mengambil fungsi Sesma. Di dalam UUD 1945, KY hanya menangani hal terkait hakim,” ungkapnya.
Dalam proses rekrutmen hakim di RUUJH, KY kembali dimasukan dalam proses seleksinya walaupun dalam UU KY sebelumnya hal tersebut sudah dicabut dalam judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
“Kenapa KY masuk dalam rekrutmen hakim walaupun sudah dibatalkan oleh MK? Itu karena maunya DPR. DPR merasa bahwa proses rekrutmen oleh MA saja tidak cukup, sehingga KY harus dilibatkan agar hakim yang terpilih adalah hakim yang memiliki integritas yang tidak diragukan lagi,” tutup Sukma. (FAI)
admin
Latest posts by admin (see all)
- Belantara Foundation Tanam Pohon Langka Di Riau - November 29, 2024
- Pengamatan Keanekaragaman Hayati SMA 1 Sukaraja Bogor - November 26, 2024
- Sevenist Menerangi Indonesia 3 Bantu Ponpes di Lampung - November 26, 2024