Jumat , April 26 2024
Home / Nasional / Greenpeace: Presiden Rakyat, Selamatkan Rakyat Dari Ancaman PLTU Batubara

Greenpeace: Presiden Rakyat, Selamatkan Rakyat Dari Ancaman PLTU Batubara

BP_Jakarta——-Jakarta, 5 Oktober 2015. Greenpeace bersama dengan Paguyuban UKPWR melakukan protes damai di depan Istana Presiden, meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dalam protes tersebut, aktivis bersama warga membawa patung Genderuwo, tokoh mitos Jawa, kepada Presiden, melambangkan ancaman PLTU Batang terhadap warga.

“Tenggat waktu sudah habis untuk PLTU Batang. Besok, proyek ini akan gagal memenuhi batas waktu penutupan keuangan (financial closing) untuk keempat kalinya, memunculkan pertanyaan tentang legalitas proyek jika Pemerintah masih bersikeras untuk memperpanjang batas financial closing ini. Presiden Joko Widodo sebaiknya mengumumkan pembatalan proyek ini sekarang dan mulai fokus pada pengembangan energi terbarukan untuk kepentingan orang Indonesia, lingkungan, dan untuk menghindari dampak bencana perubahan iklim yang mengerikan, “kata Arif Fiyanto, Pimpinan Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. “Batubara bersih hanyalah mitos belaka”, tegasnya.

Proyek PLTU Batang sudah melewatkan tiga tahun tenggat waktu yang diperlukan untuk persetujuan yakni pada tanggal 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013, dan 6 Oktober 2014.

Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) Batang adalah kelompok warga sipil yang mewakili desa-desa di sekitar lokasi PLTU Batang akan dibangun, termasuk Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonorekso dan Roban.

Greenpeace menyesalkan peletakan batu pertama untuk proyek PLTU Batang, yang berlangsung pada 28 Agustus 2015 lalu. “Pembangkit listrik batubara ini akan menghancurkan kawasan konservasi laut yang dilindungi -melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008, menghancurkan lahan subur sedikitnya di lima desa yang mengandalkan pertanian, mencemari perairan nelayan kaya ikan, mengancam mata pencaharian lebih dari 10.000 nelayan skala kecil. Terlebih lagi, akan menghasilkan 10,8 juta ton karbon ke atmosfer, “tambah Arif.

Rencana pembangunan telah tertunda selama hampir empat tahun karena perlawanan yang gigih dari penduduk desa yang tinggal dekat lokasi mega proyek ini. Hari ini, 74 pemilik tanah masih menolak untuk menjual tanah mereka. Bersama-sama, mereka memiliki sekitar 10% dari 226 hektar lahan yang dibutuhkan untuk mega proyek, dan persetujuan mereka untuk pembebasan tanah adalah prasyarat yang harus dipenuhi bagi proses penandatanganan pemberian dana dari investor asing, JBIC (Japan Bank for International Cooperation) .

PT. BPI (Bhimasena Power Indonesia) telah tiga kali gagal memenuhi tenggat waktu financial closing –proses penandatanganan pencairan pendanaan– proses ini tidak bisa dilakukan karena beberapa persyaratan yang belum bisa dipenuhi oleh PT. BPI, dimana salah satu penyebab utamanya adalah proses pembebasan lahan yang belum tuntas.

Hari ini, warga Batang juga tengah menunggu sidang putusan dari gugatan yang diajukan terhadap JBIC, sebagai sumber utama pendanaan untuk proyek tersebut.

Keputusan Jokowi untuk ‘meresmikan’ proyek yang belum memenuhi langkah-langkah yang diperlukan untuk persetujuan perencanaan telah menarik pertanyaan serius dari berbagai pihak yang terlibat.

warga yang terkena dampak mempertanyakan mengapa Presiden terus mengabaikan keprihatinan dan aspirasi mereka, meskipun mereka telah berkali-kali menyampaikan keberatan kepada semua instansi pemerintah yang terkait. Bagi mereka, tampak bahwa Presiden Jokowi telah menempatkan kepentingan perusahaan-perusahaan besar di atas kepentingan dan keselamatan rakyat.

“Saya sangat kecewa dengan Presiden Jokowi. Kami memilih beliau karena kita percaya pada janjinya untuk mendengar suara-suara dari warga Batang yang menentang pembangunan mega proyek. Sekarang Presiden Jokowi bahkan datang ke desa dan meresmikan proyek, dan saya dilarang mendekati tempat upacara. Saya akan mempertahankan tanah saya selamanya, karena ini adalah kehidupan kami” kata Cayadi, warga Karanggeneng, salah seorang pemilik lahan.

“Presiden Jokowi harus mendengarkan aspirasi warga Batang yang menentang proyek ini. Presiden Jokowi harus mengutamakan hak-hak warga negara di atas kepentingan perusahaan. Hal ini tidak layak mengorbankan rakyat Batang demi pembangunan energi kotor dan investasi asing, ” tambah Cayadi. (RWN)

The following two tabs change content below.

About admin

Check Also

Pengamatan Burung SAI Dan Belantara Foundation

BP, Jakarta — Belantara Foundation dan Sekolah Alam Indonesia (SAI) tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) …