BP, Jakarta — Di sebuah buku yang ditulis seorang wartawan senior Tempo ada cuplikan kisah menarik yang dialami sendiri oleh Sang Penulis sekitar pertengahan tahun 1994.
Aku lalu dibawa kembali ke ruang Mayor Abdullah. Aku minta izin untuk salat Subuh. Aku ingin sedikit bersopan-sopan minta izin, tapi rupanya dianggap sebagai ketertundukan. Polisi yang lain melarang. “Nggak usah, nggak usah salat,” cegahnya. “Eee enak aje melarang orang salat. Ini melanggar HAM, tahu!” kataku. “Tuh, lihat matahari sudah mulai nongol dari ufuk timur. Masa bodoh, aku mau salat. Ayo mana kamar mandi? Tunjukkan!” mulutku nyerocos sendiri tak terkendali.
Sambil ditunggui polisi lainnya, aku kencing dan berwudu. Lalu salat di ruang Sang Mayor. Setelah salat dua rakaat, aku mengantuk dan tak enak badan, jadi tidur di bangku panjang. “Badan saya lemas, Pak. Saya mau tidur dulu,” kataku. “Jangan, mau ditanya dulu,” ujar Mayor Abdullah berusaha mencegah. “Ah, saya ngantuk, percuma saja,” kataku tak peduli dan tidur di bangku panjang.
Setelah bangun, aku diperiksa hingga hampir tengah malam. Sebuah pemeriksaan yang melelahkan. (Bisnis Seks Di Balik Jeruji. Halaman 65. Karya Ahmad Taufik. Ufuk Press 2010).
Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik dibredel pada 21 Juni 1994. Tetapi kebenaran selalu ada yang memperjuangkan. Salah seorang wartawan Tempo, Ahmad Taufik termasuk yang menolak tunduk pada pemasungan kebebasan pers. 7 Agustus 1994 sejumlah jurnalis dari empat kota –Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya — berkumpul di Desa Sirnagalih, Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat dan membidani lahirnya Aliansi Jurnalis Independen. Ahmad Taufik, penulis buku yang cuplikannya dicantumkan di atas menjadi Ketua Presidium organisasi itu. Media alternatif bernama Independen pun lahir, memuat berita yang tak berani dimuat media arus utama pada saat itu. Sebuah episode yang tidak disukai rezim penguasa, hingga berujung penjara bagi Ahmad Taufik. Buku yang cuplikannya tertulis di atas adalah buah karya pengalaman nyata Taufik selama di penjara. Memang darahnya adalah darah jurnalis, di buku itu ia membuka lebar-lebar fakta sesungguhnya situasi lapas dan rutan yang sarat dengan penyelewengan, penyalahgunaan dan penindasan. Dalam keadaan terpenjara Taufik tak bisa dihentikan menyuarakan kebenaran.
Pada tahun 2004 ia menghadapi gugatan pencemaran nama baik pengusaha Tomy Winata. Dalam pledoinya Taufik menyatakan, “Memberitakan informasi apa adanya adalah kewajiban saya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi itu.” Ate, begitu ia biasa disapa, setelah berakhirnya rezim Orba, Ate tetap tidak berubah. Ate tetap lantang menyuarakan kebenaran.
Malam Jumat, 23 Maret 2017 Ahmad Taufik menghembuskan nafas terakhir dalam usia 52 tahun. Lelaki kelahiran 12 Juli 1965 ini meninggal dunia karena sakit kanker paru-paru. Ahmad Taufik merupakan perokok pasif, ia diduga terkena kanker karena asap para perokok di sekitarnya. Taufik dimakamkan setelah shalat Jumat pada 24 maret 2017 di TPU Karet Tengsin. Ahmad Taufik adalah salah satu tokoh dari Tanah Abang.
Semasa kecil ia sekolah di SDN Spoor Lama Pagi 1 Kebon Melati Tanah Abang. Ia juga mengenyam pendidikan agama di Madrasah Diniyah Al Ittihad, Tanah Abang. Lulus SD ia sekolah di SMP 35 Gambir, lanjut ke SMA 24 Jakarta. Taufik lalu kuliah di Fakultas Hukum Unisba Bandung. Ia juga sempat kuliah di IKIP Bandung jurusan Bahasa Arab selama 6 semester.
Ratusan orang mengantarnya dari kediamannya di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang ke peristirahatan terakhir. Tampak masyarakat dari berbagai kalangan mengantar jenazah Taufik. Ferry Mursyidan Baldan (politisi Partai NasDEm), Geisz Chalifah (tokoh KAHMI), Dani Anwar (politisi PKS), Sumarno (Ketua KPU DKI), Othman Shihab, Haddad Alwi, Rudiantara (Menkominfo), Lukman Hakim Saifuddin (Menag) tampak di antara para ratusan pelayat.
“Garisnya tak pernah abu-abu, garis perjuangannya selalu jelas. Dia orang yang berani menghadapi apapun. Di penjara pun ketika ia dibesuk malah ia yang menghibur kita. Memang darahnya darah pejuang. Yang seperti itu tidak bisa dibeli, tidak bisa dipelajari,” saksi Geisz Chalifah, aktivis Laskar 7, aktivis KAHMI yang juga merupakan senior Ahmad Taufik semasa kuliah.
Sementara itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam sambutannya pada pemakaman Ahmad Taufik menyampaikan, “Kita semua meyakini bahwa almarhum pulang dengan suka cita dan bahagia karena akan bertemu Allah. Kita tahu beliau adalah orang yang konsisten. Konsisten adalah istiqamah. Konsistensi atau istiqamah lebih utama daripada karomah. Konsistensi beliau pada pembelaan kaum yang lemah,” ujar Menag.
Selama berkarir sebagai wartawan Ahmad Taufik pernah menerima beberapa penghargaan karena perjuangannya dalam kebebasan pers.
1. Tasrief Award – Indonesia Press Freedom Award (Jakarta) pada Juni 1995,
2. CPJ (berbasis di New York), International Press Freedom Award 1995,
3. Digul Award – Indonesian NGO’s Human Rights Award pada 10 Desember 1996,
4. Hellmann/Hammet Award from American Writer, New York 1998.
Ahmad Taufik lewat tulisan, lisan dan sikap juangnya telah menjadi inspirasi bagi para jurnalis. Sikap konsisten, tegas dan keberanian menjadikan jurnalis senior ini dihargai berbagai kalangan.
(Ridwan Ali Tamin)
admin
Latest posts by admin (see all)
- Belantara Foundation Tanam Pohon Langka Di Riau - November 29, 2024
- Pengamatan Keanekaragaman Hayati SMA 1 Sukaraja Bogor - November 26, 2024
- Sevenist Menerangi Indonesia 3 Bantu Ponpes di Lampung - November 26, 2024