Rabu , Desember 4 2024
Home / Jabodetabek / Edukasi Penyelamatan Lahan Basah Diselenggarakan Di SMA Suluh, Jakarta Selatan

Edukasi Penyelamatan Lahan Basah Diselenggarakan Di SMA Suluh, Jakarta Selatan

BP, Jakarta — Kegiatan edukasi tentang pengenalan lahan basah di Indonesia dan pelestarian keanekaragaman hayati di dalamnya dilaksanakan di SMA Suluh, Sabtu 11 Februari 2017. Acara ini diselenggarakan berkat kerjasama antara BScC Indonesia, Marine Conservation Club (MCC), Kelompok Studi Penyu Laut (KSPL) “Chelonia”, Pusat Kajian Lingkungan dan Konservasi Alam Fakultas Biologi Universitas Nasional, Sekolah Pascasarjana Prodi Magister Biologi Universitas Nasional, Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI, dan Wetlands International.
Dalam kegiatannya, mereka membagikan poster pentingnya keberadaan lahan basah dan juga pemutaran film mengenai lahan basah dan keaneakragaman hayati di dalamnya.

Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetland Day). Lahirnya hari lahan basah sedunia adalah untuk memperingati sebuah peristiwa historis 43 tahun yang lalu, dimana pada tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran telah berlangsung sebuah Konvensi Internasional tentang lahan basah. Memang pada awalnya konvensi ini hanya sebatas pada masalah burung air dan burung migran, namun dalam perjalanannya, konvensi ini berkembang pada pemanfaatan ekosistem lahan basah secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development) di seluruh dunia. Konvensi ini kemudian dikenal oleh kalangan luas sebagai Konvensi Ramsar. Indonesia telah masuk menjadi anggota dan sekaligus meratifikasi Konvensi Ramsar pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Keppres No. 48 tahun 1991.
Dalam salah satu artikel Konvensi Ramsar, lahan basah (wetland) didefinisikan sebagai daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan ; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut. Pengertian diatas menunjukkan bahwa lahan basah mencakup beberapa keadaan alam, seperti terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur dan pasir, mangrove, daerah pasang surut, estuari, rawa air tawar dan gambut, danau, sungai, serta lahan basah buatan seperti kolam, tambak, sawah dan waduk.

Koordinator edukasi dan juga ketua BScC Indonesia, Ahmad Baihaqi menjelaskan keberadaan lahan basah sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Fungsi lahan basah tidak saja dimaknai sebagai faktor pendukung kehidupan secara langsung, seperti sumber air baku, jalur transportasi dan habitat bagi berbagai flora dan fauna, tapi juga memiliki fungsi ekologi, produksi dan estetika. Secara ekologi, lahan basah berfungsi sebagai penyedia dan penjaga siklus hidrologis, minimalisasi erosi, penahan dan penawar pencemaran, pencegah intrusi air laut, pengendali banjir dan kekeringan serta berperan penting dalam pengendali iklim global. Dalam konteks produksi, lahan basah berfungsi sebagai penyedia hasil hutan, pendukung kegiatan pertanian, sumber protein hewani akuatik dan sumber pendapatan masyarakat. Lahan basah juga memiliki nilai estetika yang khas, karena selain kondisi alamnya yang eksotik, juga keberadaannya berasosiasi dengan perkembangan budaya masyarakat setempat yang terapresiasi dalam bentuk kearifan-kearifan lokal.

Namun dari potret realita yang ada, derasnya aliran pembangunan di setiap sektor kehidupan yang kurang mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan telah menggerus keberadaan lahan basah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan, reklamasi dan konversi lahan yang tidak teratur serta penambangan emas di sungai-sungai adalah merupakan sedikit dari sekian banyak praktek-praktek pengelolaan sumber daya lahan basah yang tidak bijak, sehingga ekosistem lahan basah kita terus-menerus mengalami kerusakan.

Implikasi logis dari terdegradasinya lahan basah telah mulai kita rasakan saat ini. Merebaknya bencana banjir dibeberapa tempat, terjadinya abrasi pantai, meningkatnya intrusi air laut yang mengakibatkan masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih pada saat musim kemarau, pendangkalan beberapa sungai yang menghambat jalur distribusi barang dan jasa ke daerah-daerah pedalaman serta menurunnya hasil tangkapan ikan di sungai-sungai dan danau. Dampak dari proses degradasi dan hilangnya lahan basah serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya ini telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar bagi masyarakat, baik yang berada di dalam maupun diluar ekosistem lahan basah tersebut.

Delegasi KSPL “Chelonia”, Nadya Putri Rahma menjelaskan salah satu upaya untuk melestarikan penyu adalah jangan membeli apapun yang berhubungan dengan penyu, seperti telur, daging dan karapas. “Jika kita membelinya, maka perburuan satwa penyu juga tinggi, hal ini dapat mengakibatkan ancaman kepunahan bagi penyu,” ujar Nadya, mahasiswa semester 7 di Fakultas Biologi Universitas Nasional.

Disamping itu, Hidayati Azizah, Ketua Marine Conservation Club Fakultas Biologi Universitas Nasional memaparkan tentang pentingnya keberadaan hutan mangrove di Indonesia. “Hutan Mangrove dapat berfungsi sebagai benteng tepi laut, selain itu juga sebagai salah satu habitat flora dan fauna” ujar zizi, sapaan akrab Hidayati Azizah.

The following two tabs change content below.

About admin

Check Also

Sapta Pala Makin Solid di Peringatan Milad ke-31

BP, Jakarta — Malam (19/8/2024) yang cerah, beruntungnya kami selalu dipantau purnama utuh di perayaan …